Kenapa Kita Semua Nggak Punya “Normal” yang Sama

Tags: Refleksi

Kenapa Kita Semua Nggak Punya “Normal” yang Sama

Dipublish pada Aug 16, 2025 | Ditulis oleh Abimanyu Darmawan

Pernah nggak kamu terkejut saat tahu ada orang yang belum pernah minum kopi kekinian seharga 20 ribu? Atau belum pernah masuk photobooth yang tarifnya 30 ribu per sesi? Bahkan ada juga yang belum pernah sama sekali nonton film di bioskop.

Buat sebagian dari kita, semua itu terasa lumrah. Kopi susu sudah jadi teman nongkrong, photobooth bagian dari gaya hidup anak muda, dan bioskop adalah hiburan yang bisa diakses kapan saja. Tapi ternyata, tidak semua orang tumbuh dengan pengalaman yang sama.

Apa yang Kita Anggap Normal

Sebenarnya, ini bukan cuma soal kopi, photobooth, atau bioskop. Ada banyak hal lain yang buat sebagian orang itu terasa “standar”, tapi buat yang lain bisa jadi sesuatu yang asing atau bahkan mewah.

Contohnya:

  • Jajan makanan cepat saji — makan McD atau KFC mungkin terasa murah dan biasa untuk anak kota, tapi buat orang lain bisa jadi pengalaman langka.
  • Main ke mall — ada orang yang tumbuh besar tanpa pernah masuk mall, karena di kotanya memang nggak ada, atau karena keluarganya nggak terbiasa.
  • Liburan ke luar kota/luar negeri — sebagian orang sudah biasa, tapi ada yang belum pernah sekalipun naik pesawat.
  • Punya gadget terbaru — iPhone, tablet, atau smartwatch mungkin terlihat “normal” di satu lingkaran sosial, tapi di lingkaran lain bisa dianggap barang super mewah.
  • Berlangganan layanan digital — Netflix, Spotify, atau YouTube Premium mungkin terasa kecil, tapi ada orang yang bahkan nggak terpikir untuk mengeluarkan uang bulanan hanya untuk hiburan.

Hal-hal ini menunjukkan bahwa apa yang kita anggap “normal” sebenarnya sangat relatif, tergantung lingkungan, kondisi ekonomi, dan kebiasaan hidup.

Privilege Itu Soal Perspektif

Privilege tidak selalu tentang kaya atau miskin secara garis besar. Kadang privilege itu sesederhana bisa menikmati hal-hal yang dianggap remeh oleh orang lain.

Kalau kita bisa dengan mudah jajan kopi kekinian tiap minggu, itu adalah privilege. Kalau kita bisa nonton bioskop kapan saja tanpa harus mikir panjang, itu juga privilege. Kalau kita bisa naik pesawat dengan santai tanpa khawatir biaya, itu pun privilege.

Artinya, privilege bukan hanya tentang punya uang lebih, tapi juga tentang punya akses, kesempatan, dan kebebasan untuk memilih.

Hidup dalam Bubble Sosial

Kebanyakan dari kita hidup dalam bubble sosial. Lingkaran pertemanan, gaya hidup, dan lingkungan tempat tinggal membuat kita merasa standar kita adalah standar semua orang. Akibatnya, kadang kita lupa bahwa realitas orang lain bisa sangat berbeda.

Misalnya, di lingkaran tertentu, nongkrong di kafe dianggap biasa, bahkan kebutuhan. Tapi di lingkaran lain, nongkrong berarti di warung sederhana sambil minum teh manis. Dua-duanya valid, hanya berbeda latar belakang.

Kalau tidak hati-hati, bubble sosial ini bisa membuat kita jadi cepat menghakimi: menganggap orang lain kudet, nggak gaul, atau kurang update. Padahal, mereka hanya hidup dengan realitas yang berbeda.

Belajar Dari Perbedaan

Mengetahui hal ini seharusnya membuat kita lebih rendah hati. Bahwa pengalaman kita bukan ukuran tunggal kehidupan. Bahwa kenyamanan yang kita anggap biasa, bisa jadi impian bagi orang lain.

Ada tiga hal sederhana yang bisa kita lakukan:

  1. Bersyukur – karena hal-hal kecil yang kita punya, tidak semua orang memilikinya.
  2. Menghargai – tidak meremehkan orang lain hanya karena pengalaman mereka berbeda dengan kita.
  3. Membuka pikiran – belajar melihat kehidupan dari perspektif lain, agar kita tidak terjebak dalam bubble sendiri.

Penutup

Pada akhirnya, hidup itu penuh dengan keragaman pengalaman. Ada orang yang setiap minggu bisa minum kopi 30 ribuan, ada yang cukup bahagia dengan kopi hitam buatan rumah. Ada yang menonton film di bioskop setiap bulan, ada yang hanya menunggu tayang di TV gratis. Ada yang merasa mall adalah tempat nongkrong biasa, ada yang menganggapnya dunia lain yang jarang mereka datangi.

Semua cerita itu valid. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Justru dengan menyadari bahwa normal itu relatif, kita bisa lebih bijak, lebih bersyukur, dan lebih menghargai perjalanan hidup orang lain.

Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang siapa yang lebih sering menikmati hal-hal “kekinian”, tapi tentang bagaimana kita menjalani dengan penuh kesadaran dan rasa syukur.